Minggu, 09 Juli 2017

From movie i saw last night.

"Keputusasaan adalah jalan dengan hambatan terkecil."

Dalam artian yang buruk, bisa jadi seakan-akan tidak ada lagi yang tersisa. Hanya putus asa.

Tapi dalam artian yang baik, bisa berarti nothing to lose. Karena harapan menawarkan jalan dengan hambatan yang lebih besar yaitu keinginan untuk bahagia dan berhasil. Putus asa tidak menawarkan apa-apa. Mungkin hanya sebuah pertanyaan, seberapa jauh kita mampu merusak hidup kita sendiri?

Jumat, 07 Juli 2017

Saat melamun tengah malam mungkin kita akan lebih mudah untuk berkhayal tentang apa saja. Mungkin tentang kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Tentang mengunjungi lagi saat-saat di masa lalu, bertanya apakah ada hal yang bisa kembali, diubah lagi, apakah yang akan terjadi bila kita memilih ini dan bukan itu... tapi kemudian kita menyadari bahwa menjadi orang dewasa sama dengan kita tidak sepenuhnya bisa mengontrol semua. 

Mungkin seseorang dengan pernikahan yang tidak berjalan seindah yang ia bayangkan harus menghadapi perceraian. 

Mungkin seseorang berharap besar memiliki masa depan yang indah tapi ternyata jauh dari bayangan.

Mungkin ada seseorang yang lain yang berharap lima tahun lagi ia akan melihat dirinya menikah. Tapi ternyata, lima tahun itu ia tetap menjadi lajang yang sama. 

Mungkin orang-orang ini, mereka sering tidak bisa mengontrol pertanyaan akan penyesalan. Mungkin penyesalan itu datang kadang-kadang di tengah malam. Siapa tahu mereka memang menyesal atas keputusan mereka tapi mereka harus belajar untuk menerima kesalahan. Kesempurnaan hanya milik mereka yang masih muda, sementara mereka sudah sepenuhnya dewasa. 

Saya tidak tahu kenapa menulis ini tapi saya belajar banyak bahwa hidup memang bisa semudah itu menjadi rapuh dan bisa pula semudah itu menjadi seakan megah dan kokoh. Life is a joke, it is a bullshit, but deep from our heart, we still want to make it beautiful, priceless... meaningful. Because we are human. 

And haven't you heard that human is so fucking stupid.

Rabu, 07 Juni 2017

Dan Senyumlah

"Menelusuri hening malam hari-harimu terlewatkan 
Kau hanya bicara berteman khayalan
Kau tak mendapat jawaban"



Suka sekali dengan bagian lirik lagu ini. Lagunya memang enak.


Jumat, 02 Juni 2017

Ada pernah suatu pagi yang dingin. Ketika tidak ada tempat berpulang bernama rumah. Saat keluarga hanya bisa dibentuk oleh fantasi. Dan sentuhan, cinta, wajah-wajah bertumpukan, tapi tidak akan pernah bisa merasa... karena tidak ada yang nyata.

Pagi itu bisa datang kembali. Cepat atau lambat. Apakah ikhlas bisa menyenangkan dirinya sendiri? Apakah pasrah sudah lebih dari cukup? Meminta sama dengan keinginan. Dan kadang mungkin tidak ada jawaban selain batas antara bangun atau jatuh bila sudah waktunya...


Selasa, 30 Mei 2017

Mimpi Malam Tadi

Mimpi malam tadi antara perpaduan sedikit erotisme, ketakutan yang dingin dan lebih banyak lagi tentang kenangan. 

Tapi saya tidak akan bahas erotismenya, hanya saja saya ingat keluar dari sebuah bangunan mall (atau pertokoan) larut malam lalu saya sadar saya tidak punya jemputan untuk pulang. Saya berpikir "Wah sudah telat sepertinya memesan Gojek" sementara mendadak sekitar saya menjadi sepi, hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir, tukang jualan, lelaki-lelaki di sekitar halaman parkir yang membuat saya cemas. Saya berpikir, ini kelamaan bila saya pesan Gojek sampainya. Lalu saya sempat bingung apakah masuk ke dalam mall lagi (berharap disana lebih ramai orang) ataukah berjalan keluar dari kompleks. Bayangan beberapa lelaki asing itu membuat saya merasa khawatir. Jadi saya putuskan berlari cepat keluar menuju jalanan raya. 

Saya mendengar seorang lelaki tertawa dan berkata sesuatu, tentang saya, tapi saya tidak tahu apa. Saya terus berlari cepat. Cepat sekali, rasanya saya sama seperti The Flash. Masih terdengar sedikit suara lelaki itu dan bayangan wajahnya begitu saya menengok ke belakang seakan ia berusaha mengikuti saya. Saya terus berlari... berlari dan akhirnya ketika ia tidak ada lagi, saya merasa lega. Saya sudah ada di keramaian. 

Tapi entah bagaimana, pikiran baru terlintas : Saya mau kemana? Pulang kemana? Lalu saya menjawab sendiri : Ya ampun, saya kan tidak punya rumah! Mendadak saya yakin tempat di dalam mimpi saya ini adalah Bandung. Atau mungkin juga Jakarta. Apapun itu tapi mimpi ini terjadi saat saya suka punya kebiasaan pindah-pindah kos. Dan mendadak, saya sampai di sebuah pagar besi rumah mungil. Agak mirip penampakannya dengan rumah kos pertama saya di Jatinangor dulu. Atau waktu saya di Jakarta pertama kali.

 Saya hanya melewatinya... saya tidak mau masuk. Pikiran saya : "lah itu kan bukan rumah saya lagi... Saya kan sudah tidak diterima lagi mana bisa masuk." Lalu saya berdiri di pinggir jalan, berpikir sebentar mau kemana. Masih teringat ada perasaan cemas, perasaan ketakutan dan lebih lagi suatu kesepian. Bahwa saya seorang diri dan saya tidak punya tujuan untuk pulang. Ingin tidur, ingin sembunyi. Saya merasa tidak aman. Sekilas, saya merasa ada dalam bahaya. 

Ide lain datang yaitu "ah kenapa tidak menginap di MCD saja.... atau restoran 24 jam" tapi saya tahu harus pesan Gojek dulu. Saya pun menyeberang menuju Indomaret (berharap masih buka untuk mengulur waktu sampai Gojek datang) tapi begitu membuka pintu, isinya malah kafe dengan jualan kopi dan roti. Begitu masuk, saya memesan agak banyak dan dilayani seorang perempuan muda berusia sekitar 17 atau 19 tahun yang sedang bekerja bersama ibunya. Saya tidak tahu dia siapa, tidak pernah juga merasa bertemu dia di dunia nyata. Lalu mimpi saya pun selesai. Diakhiri dengan perasaan lega karena kecemasan tentang tujuan pulang itu sudah berakhir walau masih terasa... seakan itu bukan mimpi. Melainkan revisiting satu momen yang agak saya kurang suka, tentang malam yang dingin, sendirian dan merasa putus asa. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.

*sekedar catatan

Jumat, 19 Mei 2017

Bahagia

Bagaimana kalau kebahagiaan hanya untuk mereka yang tidak tahu banyak dan juga untuk mereka yang mau berpura-pura bahwa inilah bahagiaku, walau sebenarnya bahagia itu tidak bertahan dan akan habis juga. 

Berarti untuk bisa bahagia kamu harus memilih antara mau jadi orang bodoh atau jadi aktor. Selain itu, agak susah untuk bahagia.

Minggu, 02 April 2017

Pengaruh Sebuah Ruang

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTuf1UwvXUFyoFboNg1HDVmfKt9tb5ak5EruBzWwAt9z-7JRnKyodRe3VE2rrTryOePztghBj5YcMK32xL9e-iBO9seXyKqieeDHgzOv_rLWWpgkSxQIH4iFdngZLSBiQTZd97po5MA9NJ/s1600/shot0001.png
Double Portrait of Lucian Freud and Frank Auerbach and
Study for a Portrait of Isabel Rawsthorne by Francis Bacon

Dalam Last Tango In Paris, seorang gadis muda bertemu seorang pria yang jauh lebih tua di sebuah ruang apartemen yang gelap dan kusam, mereka tidak jatuh cinta tapi hanya saling terpana. Ada sesuatu di dalam ruangan itu yang membuat mereka merasa intim dan kemudian terjalinlah sebuah hubungan rahasia yang terlihat ganjil tapi sebenarnya gambaran dari pelarian mereka berdua atas ketidakpuasaan hidup masing-masing. 

Ruang apartemen di dalam film tersebut tak ubahnya ruang tersembunyi yang biasa kita hidupi dalam keseharian. Dalam dunia internet, misalnya. Kita bisa menemukan diri kita menjadi terasa sangat dekat berinterasi dengan seseorang di Twitter atau di Instagram, tapi kemudian ketika interaksi tersebut berpindah ke ruang yang lain, ambil contoh saat kopi darat atau saat bertukar pesan di Whatsapp, kenyamanan perasaan itu berganti. Chemistry mendadak runtuh. Terasa ada yang berbeda. Entah apa yang salah tapi mungkin begitulah pengaruh sebuah ruang. Itulah kenapa di ujung film saat sang gadis berpapasan dengan si pria di dunia nyata di luar ruang apartemen, ia digambarkan merasa asing dan bahkan menjauhinya. Pria yang biasa jadi teman bercintanya di apartemen mendadak di matanya terlihat sebagai pria menakutkan yang tak karuan.

Saya teringat seorang teman lama yang menemukan saya kembali lewat Instagram. Kami bertukar pesan panjang disana lalu kemudian suatu waktu saya memintanya untuk melanjutkan interaksi di Whatsapp. Dia agak malas namun akhirnya setuju. Saat memulai chat, terasa ada yang aneh karena mendadak saya (atau kami) menjadi canggung. Terasa sekali bahwa kami mencari-cari bahan obrolan. Entah apa yang berbeda sebenarnya dari berinteraksi di Instagram dan Whatsapp tapi saya yakin itu adalah contoh baik tentang pengaruh sebuah ruang. Kami cocok dalam "ruang Instagram" dan kemudian merasa ganjil ada di "ruang lain" di Whatsapp. Tentu saya yakin ada banyak cerita-cerita lainnya.