Sabtu, 28 April 2018

Images of Affection









Foto-foto film soal kasih sayang, soal dipengaruhi-mempengaruhi, mencemburui cerita orang lain sebagai sensasi obsesi, cinta, rasa nyaman, tidak ada yang perlu dihiraukan atau membuat risih karena kamu tidak seorang diri. 

Salah

Saya sedang berpikir tentang Jakarta. Tentang Indonesia. Tentang orang-orang yang hidup dan bangun pagi setiap hari hanya demi uang puluhan ribu. Yang rela menunggu antrian busway, yang rela berdesak-desakan di dalamnya. Yang menunggu satu jam lebih hanya untuk berebut dapat kursi. Yang hidup untuk hari ini, yang hidup untuk harapan segera menikah atau segera punya anak.

Saya rasa mungkin tidak ada yang salah. Tujuan apapun adalah murni sebuah tujuan. Tapi ada yang terasa aneh ketika tujuan didefinisikan sebagai 'tidak normal' ketika jawabannya bukan untuk menikah dan punya anak. Ketika pula keperawanan dan seks adalah hal tabu. Saat isu agama menjadi hal yang paling mudah memancing emosi, tanpa dipahami sedewasa mungkin. Ketika hidup hanya tentang menjadi robot dan mereka yang melawan dianggap kaum buangan.

Sangat-sangat ada yang salah....

Saya tahu bahwa ada hal yang lebih besar dari ini semua. Tidak, tidak boleh hanya seperti ini saja.

Selasa, 24 April 2018

Ketika Seisi Dunia Menjadi Malas...

Memang basa-basi tidak enak. Semuanya suka to the point. Tapi ketika semua jadi hanya menitikberatkan pada tujuan, sesuatu terasa hilang dan hampa...


Suatu kisah yang banyak terdengar.


Seseorang mendapat teman kencan dari Tinder. Lalu mereka mulai chat nakal dan sang teman kencan  langsung membahas ke topik utama, "kapan ketemuan?"

Besoknya ketemuan, make love, dan ya sudah it's done. 

Kisah lain lagi tapi agak serupa.

Seseorang memesan order via ojek online. Ojeknya datang. Sepanjang perjalanan, mereka tidak bicara, sibuk masing-masing. Sampai tujuan, order selesai dan driver pergi. Sudah, it's done. 

Ah, atau satu contoh kasus lagi yang saya alami sendiri.

Bertemu seorang lelaki saat menunggu nonton film. He's okay, good looking, walau beda studio tapi karena kami sama-sama sendirian, sehingga menghabiskan waktu untuk mengobrol lama sebelum film diputar. Sepanjang obrolan yang akhirnya mengalir kemana-mana, saya merasa kami bisa jadi teman bicara yang cocok. Ya, bukan tipe kimia yang ajaib seperti di film-film romansa. Cuma asyik saja. Akhirnya dia meminta untuk tukar nomor Whatsapp. Saya setuju. Lalu kami berpisah.

Tentu malamnya, kami langsung chat lagi. Beberapa obrolan, beberapa tanya-jawab, lagi dan lagi... dan... setelah dua hari, obrolan terputus. Arus kimianya berhenti. Setelah itu, tidak berlanjut lagi. Saya sibuk dengan hal lain sehingga menjadi malas. Mungkin dia pun juga begitu. Dan seperti halnya orang asing, semua semudah itu terlupakan.

Saya berusaha menganalisis ini dan sebenarnya masih bertanya, ada apa? Karena ini sudah sering sekali terjadi. Apakah "small talk" atau basa-basi akhirnya menjadi sesuatu yang benar-benar dijauhi? Oh jelas, kita membencinya terutama apabila dalam keadaan terpaksa seperti terjepit di lautan basa-basi keluarga besar waktu hari raya atau di kawinan teman. Tapi saya orang yang yakin bahwa basa-basi itu kadang diperlukan. Untuk proses mengenal seseorang yang kita inginkan, misalnya. Atau sebuah tahap awal sebelum kita dengan mudahnya bicara hal-hal yang tidak basa-basi bersamanya. Coba kamu bayangkan saja kalau sedang makan di McDonald dan tiba-tiba dihampiri seorang lelaki terus dia bilang, "Kamu tahu kenapa Ken Arok terpikat sama betis Ken Dedes?" atau dia mulai bicara soal 65, 98 atau sejarah Indonesia jaman kolonial tanpa mengenalkan diri sebelumnya? Oh, tentu apa-apaan dia ini!

Jadi sebenarnya "ada apa" ini apakah erat kaitannya dengan fenomena teknologi yang menggampangkan? Ketika semua dimudahkan aplikasi dan internet, ketika tawa kita ditentukan oleh video apa yang kita lihat hari ini atau berapa likes yang kita dapat di Instagram... Ketika semua menjadi instan dan begitu sistematis, proses tak lagi kita perlukan? Dulu begitu kurang kerjaannya, kita pernah chat di mIRC. Meluangkan segala waktu untuk dibalas dan berharap ketemuan. Dulu teman saya pernah pacaran sama orang yang dia saja belum pernah ketemuan, hanya berhubungan lewat SMS dan telepon tapi awet sampai setahunan.  Lalu asumsi saya ketika semua menjadi sangat, sangat mudah tanpa perlu effort sama sekali, kita juga menjadi lebih malas nampaknya.

Ya, mungkin saja.

Atau mungkin kalau ingin jawaban yang lebih puitis nan romantis adalah, "kamu belum bertemu yang mau memperjuangkan kamu sebegitunya aja kaliiiiiii...." 

Hmmm...