Kamis, 27 November 2014

Apa Yang Kau Tjari Palupi?

Mereka bermain di tepi pantai. Hanya berdua. Rambut Palupi tertiup angin, wajah lembutnya dicumbui angin yang lewat, ia terlihat tambah jelita. Chalil yang menoleh ke arahnya terkesima. Ia lama mengamati.

"Kenapa?"

"Tidak."

"Kenapa?" Palupi tertawa, merasa malu.

"Kau.... begitu cantik, Lu. Seperti itu."

Pipi Palupi memerah. Matanya melarikan diri dari tatapan Chalil, menatap ke arah langit. Kemudian tertegun. Chalil menjauh, membiarkan Palupi tenggelam dalam lamunannya.

Bagi Chalil, Palupi tidak saja seseorang dengan bakat, ia adalah sebuah lukisan indah yang sempurna. Dan Chalil lama berpikir di bawah pohon kelapa, di sebuah bangku kayu. Berpikir bagaimana Palupi adalah yang inginkan... berpikir bahwa Palupi adalah keindahan... Palupi adalah wanita yang ingin ia miliki.... Chalil tak memikirkan istrinya atau anak-anaknya saat itu, ia merasa kembali pada perasaan seorang pria yang utuh jatuh cinta dengan seorang wanita. Ia tidak ingat bahwa ada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia tidak ingat rengekan bayi yang manis---yang mirip akan dirinya, ia tidak ingat wajah istrinya. Seakan-akan berama Palupi mampu membuatnya amnesia akan semua itu. 

Palupi masih memandang langit, kadang sambil memainkan riak ombak, kadang menggoyang-goyangkan kaki di halaman pantai. Perempuan itu hanya diam. Tidak ada yang dapat merengkuhnya. Tidak pula Chalil. Tidak Haidar. Senja mulai datang dan membuat langit separuh gelap. Palupi membuang nafas, seakan tak rela akan padam.


- Sekedar tulisan dini hari karena gagal nonton film ini ketika ke Sinematek.






http://media-cache-ec0.pinimg.com/736x/c1/4b/ed/c14bed3e47ed2c096ae78f13f0733af0.jpg


Sabtu, 18 Oktober 2014

Orang-orang Jakarta di dalam lampu ruang yang masih menyala.

Saya selalu suka menatap bangunan-bangunan tinggi menjulang di Jakarta. Kalau naik taksi, ambil kursi paling kanan dekat jendela, senderan kadang-kadang sambil putar lagu. Ada sesuatu yang menarik, yang selalu indah untuk dilihat. Saya selalu suka. Begitu banyak cerita. Apalagi kalau malam hari. 

Apa ya yang saya suka, kadang saya lupa atau masih tidak bisa secara jelas menganalisa. Mungkin saya suka karena ada lampu-lampu yang menyala megah. Mungkin saya suka bangunan yang menjulang itu karena semakin jenjang semakin indah terlihat bersama langit. Mungkin juga karena saya suka mengkhayal, saya suka bertanya apa yang dilakukan orang-orang didalam gedung tersebut? Pada beberapa jendela lantai yang menyala, sementara yang lain masih padam, saya suka menebak bagaimana dan siapa orang yang masih ada di jendela berpendar cahaya itu? Apa yang masih dilakukannya di malam hari ini? Apa dia merasa kesepian? Bagaimana hidupnya? Lalu pikiran saya pun mulai berkhayal.... tentang karakter seseorang dan hidupnya yang mungkin menarik untuk ditontoni. 

Sampai sekarang saya masih suka menengadah ke atas, terpaku bermenit-menit sambil melihat jendela-jendela lantainya, terutama yang paling atas. Bangunan bank, perusahaan, mall atau hotel, rasanya semua terlalu terang. Terlalu bersinar. Adakah kedamaian bagi mereka yang masih bekerja, adakah kesenangan dalam hidup mereka semua? Saya tidak tahu, saya hanya bisa memejamkan mata, membuat pikiran saya terbang untuk menebak-nebak kehidupan mereka. Orang-orang Jakarta di dalam lampu ruang yang masih menyala.


Selasa, 18 Maret 2014

Jalan Pungkur, Menjelang Maghrib, Hujan dan Keinginan Untuk Punya Apartemen


Saat hujan lebat dan berlindung di bawah payung yang lemah, kadang kata-kata lebih lancar keluar dari dalam hati. Ketika taksi-taksi melintas, keinginan untuk memberhentikan salah satunya terus pergi ke suatu tempat entah apa selalu ada. Tadi saya spontan berpikir mau main ke BIP, mau nonton film, atau mau ke Gramedia saja buat beli buku kumpulan puisi. Tapi saya berpikir, gaji saya belum masuk (karena ada masalah sama rekening bank yang tak selesai-selesai) dan juga takut uangnya ludes sementara kebutuhan hidup saja masih morat-marit. Akhirnya lintasan pikiran itu saya coret dan buang jauh-jauh, meskipun rasanya saya lelah untuk pulang ke kosan dan pengen sekali ke suatu tempat yang saya tidak tahu dimana dan kemana.

Sepatu saya basah. Stocking saya pun mulai basah. Dingin sekali. Ide bodoh memang memakai stocking di tengah hujan lebat seperti ini. Bahkan kalaupun tubuh tak jadi mangsa hujan, kaki tetap mesti jadi korbannya. Dan saya cuma bisa menggigil pelan. Menatap mobil-mobil yang melesat didepan. Mendengar bising hujan yang menyebalkan. Merasakan cipratan air yang masih mengenai kulit walau memakai payung. Pikiran saya kemana-mana lagi.

Dan kali ini saya berandai-andai, apa saja yang dilakukan orang di tengah hujan lebat begini. Di saat saya berdiri di pinggiran warung dekat jalan Pungkur untuk berlindung menunggu hujan reda, apa yang sedang terjadi kepada semua orang di kota Bandung ini-----tepatnya di tempat-tempat lain? Pasti ada yang sedang nonton tv di rumah bersama keluarganya. Pasti ada yang tidur di kos, atau baru sampai di kos sambil memaki-maki kena basah hujan. Jangan-jangan sedang ada yang khusyuk bercinta dan memanfaatkan momentum hujan lebat. Jangan-jangan mereka orgasme di hotel atau apartemen pusat kota. Jangan-jangan ada seorang lelaki berumur 25 tahun, orang kaya, baru tiba dengan mobil yang melesat di tengah keriuhan hujan, menaiki lantai apartemen tempat ia tinggal, langsung melesat ke tempat tidur dan langsung bermimpi indah. Saya jadi membayangkan indahnya tinggal di apartemen. Ada AC... ada dapur... lampu yang bercahaya maksimal dan tidak redup... TV LCD.... pemandangan dari jendela yang indah... duh saya jadi pengen. Jadi pengen sekali.

Sambil berpikir bagaimana caranya saya bisa tinggal di apartemen (yang paling murah harga per bulannya adalah 2 jutaan, itu untuk harga rusunami) saya pun berjalan maju menerobos hujan. Pikiran tentang apartemen, tentang rusun, tentang hidup mandiri, tentang jadi orang kaya dan tentang banyak duit tetap menumpuk di dalam pikiran saya. Tetiba kepingan lirik lagu Lily Allen – The Fear menghambur di benak saya di tengah keramaian hujan.

‘’I wanna be rich... i wanna lots of money.... i dont care about clever i dont care about funny.”

Stocking saya resmi basah kuyup.