Rabu, 15 Agustus 2018

Pindah Rumah

Setiap tempat punya sejarah. Rumah ini seingat saya sudah saya tempati sejak tahun 2011, sekitar tahun kedua di SMU. Berarti umurnya lumayan lama, sudah 7 atau 8 tahun.

Pada saat menempati suatu ruang, kita terbiasa dengan apa yang ada di dalam ruang tersebut. Kita membiasakan diri, membuat diri kita senyaman mungkin. Tapi kadang ada saat dimana memang kita mesti pindah. Bisa karena bosan, bisa karena semua terasa terlalu sama, atau sesederhana bahwa kita perlu ruang baru untuk memperoleh cerita-cerita baru, semangat baru, kenyamanan yang baru.

Blog ini kemungkinan tidak akan dihapus. Wong, sepertinya juga tidak ada yang baca kecuali saya. Saya sekarang pindah ke ruang lain di rumah yang sangat minimalis : medium.com/@maudyagusdina.

Apa yang tertulis disini, biarlah tinggal disini. Setiap tulisan punya kenangannya sendiri yang terus akan hidup setiap kali saya baca ulang. Sejauh ini, saya belum punya pikiran untuk menghapus kenangan yang sudah dibekukan lewat bentuk cerita. Jadi baiklah, saatnya pindah.

Ciao!

Rabu, 04 Juli 2018

This Is The Moment When I'm Totally Speechless About God's Plot Twists and Jokes

So you find yourself at this subway
When your world in a bag by your side
And all at once it seemed like a good way
You realized its the end of your life
For what it's worth
Here comes the train upon the track
And there goes the pain it cuts to black
Are you ready for the last act?
To take a step you can't take back
Take in all the punches you could take
Took 'em all right on your chest
Now the countless back is breaking
Again, again
For what it's worth
Here comes the train upon the track
And there goes the pain it cuts to black
Are you ready for the last act?
To take a step you can't take back

Sabtu, 02 Juni 2018

Takut

Saya sering merasa ketakutan. Tapi tengah malam ini mungkin saya tak pernah merasa setakut ini. Mendadak saya sadar saya orang yang amat bodoh. Saya adalah penjudi yang seakan berteriak masa bodoh tapi belakangan menyesal juga. Saya merasa bahwa kini nasib saya di ambang batas antara keberuntungan dan keterpurukan. Dan di saat seperti ini pula, masalah jadi datang bertubi-tubi. Dan wajah-wajah lama menghiasi kembali, kadang bercampur rasa sesal tentang kenapa semua tidak bisa berjalan seperti yang saya inginkan. Ada kemarahan yang mungkin saya diam-diam simpan rapat. Mungkin saya sudah gila, sudah putus asa. Entahlah. Yang pasti sekarang saya merasa takut karena cepat atau lambat, jurangnya akan segera tiba.

Sabtu, 28 April 2018

Images of Affection









Foto-foto film soal kasih sayang, soal dipengaruhi-mempengaruhi, mencemburui cerita orang lain sebagai sensasi obsesi, cinta, rasa nyaman, tidak ada yang perlu dihiraukan atau membuat risih karena kamu tidak seorang diri. 

Salah

Saya sedang berpikir tentang Jakarta. Tentang Indonesia. Tentang orang-orang yang hidup dan bangun pagi setiap hari hanya demi uang puluhan ribu. Yang rela menunggu antrian busway, yang rela berdesak-desakan di dalamnya. Yang menunggu satu jam lebih hanya untuk berebut dapat kursi. Yang hidup untuk hari ini, yang hidup untuk harapan segera menikah atau segera punya anak.

Saya rasa mungkin tidak ada yang salah. Tujuan apapun adalah murni sebuah tujuan. Tapi ada yang terasa aneh ketika tujuan didefinisikan sebagai 'tidak normal' ketika jawabannya bukan untuk menikah dan punya anak. Ketika pula keperawanan dan seks adalah hal tabu. Saat isu agama menjadi hal yang paling mudah memancing emosi, tanpa dipahami sedewasa mungkin. Ketika hidup hanya tentang menjadi robot dan mereka yang melawan dianggap kaum buangan.

Sangat-sangat ada yang salah....

Saya tahu bahwa ada hal yang lebih besar dari ini semua. Tidak, tidak boleh hanya seperti ini saja.

Selasa, 24 April 2018

Ketika Seisi Dunia Menjadi Malas...

Memang basa-basi tidak enak. Semuanya suka to the point. Tapi ketika semua jadi hanya menitikberatkan pada tujuan, sesuatu terasa hilang dan hampa...


Suatu kisah yang banyak terdengar.


Seseorang mendapat teman kencan dari Tinder. Lalu mereka mulai chat nakal dan sang teman kencan  langsung membahas ke topik utama, "kapan ketemuan?"

Besoknya ketemuan, make love, dan ya sudah it's done. 

Kisah lain lagi tapi agak serupa.

Seseorang memesan order via ojek online. Ojeknya datang. Sepanjang perjalanan, mereka tidak bicara, sibuk masing-masing. Sampai tujuan, order selesai dan driver pergi. Sudah, it's done. 

Ah, atau satu contoh kasus lagi yang saya alami sendiri.

Bertemu seorang lelaki saat menunggu nonton film. He's okay, good looking, walau beda studio tapi karena kami sama-sama sendirian, sehingga menghabiskan waktu untuk mengobrol lama sebelum film diputar. Sepanjang obrolan yang akhirnya mengalir kemana-mana, saya merasa kami bisa jadi teman bicara yang cocok. Ya, bukan tipe kimia yang ajaib seperti di film-film romansa. Cuma asyik saja. Akhirnya dia meminta untuk tukar nomor Whatsapp. Saya setuju. Lalu kami berpisah.

Tentu malamnya, kami langsung chat lagi. Beberapa obrolan, beberapa tanya-jawab, lagi dan lagi... dan... setelah dua hari, obrolan terputus. Arus kimianya berhenti. Setelah itu, tidak berlanjut lagi. Saya sibuk dengan hal lain sehingga menjadi malas. Mungkin dia pun juga begitu. Dan seperti halnya orang asing, semua semudah itu terlupakan.

Saya berusaha menganalisis ini dan sebenarnya masih bertanya, ada apa? Karena ini sudah sering sekali terjadi. Apakah "small talk" atau basa-basi akhirnya menjadi sesuatu yang benar-benar dijauhi? Oh jelas, kita membencinya terutama apabila dalam keadaan terpaksa seperti terjepit di lautan basa-basi keluarga besar waktu hari raya atau di kawinan teman. Tapi saya orang yang yakin bahwa basa-basi itu kadang diperlukan. Untuk proses mengenal seseorang yang kita inginkan, misalnya. Atau sebuah tahap awal sebelum kita dengan mudahnya bicara hal-hal yang tidak basa-basi bersamanya. Coba kamu bayangkan saja kalau sedang makan di McDonald dan tiba-tiba dihampiri seorang lelaki terus dia bilang, "Kamu tahu kenapa Ken Arok terpikat sama betis Ken Dedes?" atau dia mulai bicara soal 65, 98 atau sejarah Indonesia jaman kolonial tanpa mengenalkan diri sebelumnya? Oh, tentu apa-apaan dia ini!

Jadi sebenarnya "ada apa" ini apakah erat kaitannya dengan fenomena teknologi yang menggampangkan? Ketika semua dimudahkan aplikasi dan internet, ketika tawa kita ditentukan oleh video apa yang kita lihat hari ini atau berapa likes yang kita dapat di Instagram... Ketika semua menjadi instan dan begitu sistematis, proses tak lagi kita perlukan? Dulu begitu kurang kerjaannya, kita pernah chat di mIRC. Meluangkan segala waktu untuk dibalas dan berharap ketemuan. Dulu teman saya pernah pacaran sama orang yang dia saja belum pernah ketemuan, hanya berhubungan lewat SMS dan telepon tapi awet sampai setahunan.  Lalu asumsi saya ketika semua menjadi sangat, sangat mudah tanpa perlu effort sama sekali, kita juga menjadi lebih malas nampaknya.

Ya, mungkin saja.

Atau mungkin kalau ingin jawaban yang lebih puitis nan romantis adalah, "kamu belum bertemu yang mau memperjuangkan kamu sebegitunya aja kaliiiiiii...." 

Hmmm...






Kamis, 29 Maret 2018

Kehidupan adalah ketika kita begitu menginginkan sesuatu, menyisihkan banyak waktu, uang dan tenaga tapi tidak mendapatkannya. Kehidupan adalah juga ketika kita tidak serius dan bermain-main, menganggap sesuatu hanya sekedar candaan dan kemudian ironisnya, kita beruntung mendapatkannya.

Sementara manusia jungkir-balik jadi gila karenanya, Tuhan sedang menggerakkan tali boneka seperti anak kecil yang kesenangan mendapat mainan baru. Dia selalu bercanda, Dia selalu masokis. Apa yang bisa kita lakukan? Entahlah, seperti tokoh utama di film horor. Mencoba kabur, mencoba selamat. Dan kadang perlu satu celah tipis bernama keberuntungan.