Sabtu, 23 Desember 2017

Ikhlas

Ikhlas itu susah sekali. Padahal manusia itu sejatinya tercipta memiliki ego. Maka ikhlas yaitu seni untuk bersyukur dan merelakan adalah hal yang tidak bisa sekali dua kali dicoba langsung bisa tapi mesti terus diterapkan. Dan manusia yang selalu berusaha mempertahankan ego ini akan merasa tersiksa selama pembelajarannya.

Duh, sebenarnya bisakah kita untuk ikhlas? Untuk tidak menengadahkan kepala terlalu tinggi? Tidak melihat halaman rumput orang lain? Untuk tidak mengagungkan kebahagiaan mereka dan mengerdilkan hidup kita sendiri? Bisakah kita bilang bahwa kita ikhlas dan terus bisa berjalan, walau kita tahu kita terluka seorang diri. Menurut saya kita terluka bukan karena orang lain bahagia. Tapi kita terluka karena kita berpikir orang lain lebih bahagia.

Itulah ego yang harus diikhlaskan.


Kamis, 14 Desember 2017

Kesialanku hari ini, 
Keberuntunganku...
Sementara kenangan bolak-balik hadir


Kemana ingin akan membawaku? 
Sedari awal aku tidak pernah tahu.

Minggu, 03 Desember 2017

Sampai Jumpa Lagi, D!

Hai, D. 

Mungkin hanya beberapa minggu. Atau bisa jadi hanya sampai sebulan. Sungguh lucu atau malah menyedihkan ya bagaimana manusia bisa bertemu lalu dengan mudahnya berpisah lagi. Saya pikir ini akan menjadi sesuatu. Saya pikir akan ada kesempatan, kamu akan menjadi seseorang yang berbeda yang bukan hanya sama dengan puluhan lelaki lainnya yang saya sukai lalu saya hapus lagi dari ingatan. 

Yang saya tahu kamu pintar. Kamu cekatan. Kamu penuh dengan antusias dan mimpi-mimpi dan kamu  loyal terhadap semua orang. Kamu ingin mendengarkan cerita orang, bukan hanya sibuk berceloteh tentang diri sendiri. Saya ingat impian kamu itu, yang kamu ceritakan dengan sepenuh hati. Suatu malam kita bicara tentang betapa menyebalkannya dunia ketika sudah lulus sekolah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan... saya yang diam-diam mengomel tentang betapa membosankannya kerja kantoran dan kamu yang bilang bahwa kamu tidak akan pernah mau bekerja seumur hidup hanya di belakang meja tanpa melakukan apa-apa.

Malam itu saya rasa akan menjadi awal sesuatu. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya akhirnya jatuh cinta lagi dan saya berharap. Saya berharap setelah ini kamu akan datang lagi dan lagi dengan ceritamu. Saya ingin kamu menjadi yang berbeda, saya ingin kamu jadi orang yang menerima cerita saya dan menganggap itu mengagumkan bukannya menghakimi.

Hari-hari setelahnya, saya semakin mampu membaca kamu. Bahwa saya membayangkan keluarga seperti apa yang membesarkan kamu, pasti seorang ayah yang baik dan pengertian, dimana setiap makan malam adalah diskusi yang terbuka antara kamu dan semua saudara-saudaramu. Mereka tidak akan kolot dan mereka mendukung semua kebebasan yang kamu pilih. 

Perlahan saya iri. 

Saya seperti alien yang mendambakan manusia yang sempurna.

Jadi sekarang kamu pergi dan kita berpisah mungkin untuk selamanya. Pertemuan terakhir kita rasanya hanya beberapa menit dan harapan itu dengan mudahnya lagi pergi. Wajah kamu kembali jadi lintasan ingatan yang mungkin akan terendapkan jauh, sama seperti wajah-wajah lain yang tidak pernah bertahan lama. 

Tapi mau bagaimana lagi. Memang hidup seperti ini. Dan kadang-kadang saya rasa, memang saya tidak sebaik itu untuk bisa bersama kamu. 

Jadi sampai jumpa lagi, D. Terima kasih untuk waktu yang sebentar bisa menitipkan rasa sayang ke kamu. :)

Jumat, 01 Desember 2017

Canon In D Dalam Bad Timing


Beberapa bulan lalu saya menonton film ini. Tapi berhenti di pertengahan karena mengantuk. Cuma ada satu adegan yang saya susah lupa dan entah kenapa saat sedih, yang terbayang adegan ini dengan iringan Canon In D-nya. Padahal saya juga belum tahu ceritanya tapi kesannya adegan perpisahan ini menyedihkan dan memakai Canon In D - nya Pachelbel membuat adegan ini terasa semakin indah.

....Salah satu alasan lain kenapa saya gemas Riz Ortolani bikin musik Cannibal Holocaust buat film eksploitasi yang jadi sangat tidak nyambung, bukannya buat mengiringi adegan perpisahan seperti ini.

Kamis, 30 November 2017

Enter The Void

Menonton Enter The Void mengingatkan saya bahwa betapa menakjubkannya arti memori dan sebuah masa. 

Bahwa sampai sekarang, saya masih ingat pengalaman atau cerita-cerita kecil yang terjadi di saat saya masih berusia 8, 9 atau 11 tahun. Hanya tinggal memejamkan mata dan rasanya itu baru terjadi kemarin. 

Antara menyedihkan dan luar biasanya dunia ini. Bagaimana mungkin kekerasan dan cinta bisa tinggal di tempat yang sama? Bagaimana bisa dunia ini hanya sepenggal cerita dongeng yang bisa dengan mudahnya berakhir dan lalu manusia tidak tahu lagi kemana mereka akan pergi?

Gaspar Noe memang selalu membuat film yang beda dari yang lain. Dan ini adalah sebuah mimpi. Dan mimpi kadang abstrak, penuh gabungan antara hal yang mencekam, yang manis, yang indah, yang menakutkan, yang menyedihkan dan yang sulit untuk dilupakan. 



Jadi saya ulang lagi pertanyaannya, 

Bagaimana mungkin kekerasan dan cinta bisa tinggal di tempat yang sama? 

Kembali.

Entah kapan terakhir kali saya menulis yang panjang dan bermakna disini. Bahkan untuk bercerita saja saya sudah terlalu malas. 

Entah karena energi yang sudah keburu habis untuk sekedar berangkat ke kantor, jam-jam menunggu di halte, berdesak-desakan di busway yang penuh, dan hal yang sama terulang ketika pulang nanti. 

Padahal saat-saat menunggu atau bosan di dalam bis itu adalah waktu dimana banyak cerita hadir dengan lebih mudah. Melihat penumpang yang beragam, yang melihat smartphone dan tak sengaja saya baca chat Whatsapp-nya, yang terantuk-antuk, yang membawa anak, yang terus melihat ke arah tempat duduk yang terisi penuh karena nampak kakinya sudah tidak kuat lagi berdiri.

Saya bisa dengan mudah membayangkan cerita-cerita lahir tentang ini. Tentang mereka yang pergi sejak pagi dan baru pulang di sore atau malah malam hari. Tentang gedung-gedung tinggi yang sering saya lihat dari bawah, yang setiap jendelanya pasti punya cerita tentang berbagai pekerja kantoran.

Saya teringat bahwa beberapa tahun yang lalu, saya terbuka akan cerita-cerita kecil ini. Saya rajin dan antusias. Namun kemudian energi itu seakan mudah lenyap begitu saya menjadi salah satu dari orang-orang ini. 

Ketika saya tahu bahwa semua orang di kota ini begitu rela melakukan banyak hal untuk satu hal. Ketika bekerja dan mendapat gaji yang mungkin tidak amat besar adalah harga yang mereka bayar untuk rela membuang-buang waktu di jalanan. Setiap hari saya melihat penumpang yang berbeda-beda dan ingin tahu bagaimana kehidupan mereka. Saya melihat wajah lelah, wajah ceria, wajah bosan, wajah-wajah yang hanya ingin bisa sampai ke rumah dengan tenang. Kadang saya berpikir, seperti apa keluarga mereka? Adakah yang datang dan menyambut mereka di depan pintu? Pikiran-pikiran kecil dan rumit yang seharusnya tetap saya pelihara agar saya bisa sadar bahwa saya masih mampu menulis. Agar saya bisa meyakinkan diri saya, saya masih mampu menulis. 

Tapi dengan mudah cerita-cerita dan keingintahuan itu takhluk oleh kemalasan. Keinginan saya hilang hanya begitu saya sampai kasur dan tertidur. Cerita-cerita dalam pikiran hanya berakhir untuk dilupakan. Saya menjadi apa yang biasa saya remehkan beberapa tahun lalu : makhluk-makhluk kosong yang hanya menjalani hari kosong. Tapi kemudian saya jadi lebih bisa menghargai. Mungkin memang kita hanya hidup seperti ini. Mungkin memang kita harus belajar untuk mencintai hal-hal kecil. Manusia hidup dengan pilihannya menjadi besar atau sederhana, dan tidak pernah ada yang salah. 

Semoga saja tulisan ini bisa menjadi awal dari saya mulai menulis lagi. 

Sabtu, 25 November 2017

"Ini aneh gak sih kita udah seumur gini, orang pada umumnya udah kerja dan pada nikah, yang kita cari temen yang cocok satu aja susah."

- Chat 24 November 2017.

Senin, 06 November 2017

In Search of Midnight Kiss




Bagaimana kalau saya atau kita hanya jatuh cinta dengan konsep cinta itu sendiri. Bagaimana bila right person itu tidak pernah ada, hanya sekedar kita yang mencoba berusaha atau bahkan memaksakan hati untuk satu orang. Bagaimana kalau romansa itu tidak lebih hanya manipulasi perasaan kita sendiri, keinginan untuk begitu ingin merasakan bahagia walau sebenarnya ada ironi di belakangnya yang tidak pernah kita tahu (atau menolak kita pahami). Bagaimana kalau kita hanya kesepian dan cinta yang sempurna itu hanya hadir sekedar dalam gambar-gambar indah hitam putih yang kalau kita telaah lagi tidak sesempurna itu.

Lalu apa yang ingin kita temukan? Benarkah hidup hanya sekedar ini saja dan kita hanya ditinggalkan dengan segelintir pilihan? Belajar memaknai pahit sebagai manis dan belajar menerima patah hati. Film yang membuat saya berpikir lagi tentang pertemuan, "the right one" dan menerima. 

"Will you think of me next year at midnight?"

Dan mata saya pun tidak bisa menahan untuk tidak berkaca-kaca.

Minggu, 09 Juli 2017

From movie i saw last night.

"Keputusasaan adalah jalan dengan hambatan terkecil."

Dalam artian yang buruk, bisa jadi seakan-akan tidak ada lagi yang tersisa. Hanya putus asa.

Tapi dalam artian yang baik, bisa berarti nothing to lose. Karena harapan menawarkan jalan dengan hambatan yang lebih besar yaitu keinginan untuk bahagia dan berhasil. Putus asa tidak menawarkan apa-apa. Mungkin hanya sebuah pertanyaan, seberapa jauh kita mampu merusak hidup kita sendiri?

Jumat, 07 Juli 2017

Saat melamun tengah malam mungkin kita akan lebih mudah untuk berkhayal tentang apa saja. Mungkin tentang kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Tentang mengunjungi lagi saat-saat di masa lalu, bertanya apakah ada hal yang bisa kembali, diubah lagi, apakah yang akan terjadi bila kita memilih ini dan bukan itu... tapi kemudian kita menyadari bahwa menjadi orang dewasa sama dengan kita tidak sepenuhnya bisa mengontrol semua. 

Mungkin seseorang dengan pernikahan yang tidak berjalan seindah yang ia bayangkan harus menghadapi perceraian. 

Mungkin seseorang berharap besar memiliki masa depan yang indah tapi ternyata jauh dari bayangan.

Mungkin ada seseorang yang lain yang berharap lima tahun lagi ia akan melihat dirinya menikah. Tapi ternyata, lima tahun itu ia tetap menjadi lajang yang sama. 

Mungkin orang-orang ini, mereka sering tidak bisa mengontrol pertanyaan akan penyesalan. Mungkin penyesalan itu datang kadang-kadang di tengah malam. Siapa tahu mereka memang menyesal atas keputusan mereka tapi mereka harus belajar untuk menerima kesalahan. Kesempurnaan hanya milik mereka yang masih muda, sementara mereka sudah sepenuhnya dewasa. 

Saya tidak tahu kenapa menulis ini tapi saya belajar banyak bahwa hidup memang bisa semudah itu menjadi rapuh dan bisa pula semudah itu menjadi seakan megah dan kokoh. Life is a joke, it is a bullshit, but deep from our heart, we still want to make it beautiful, priceless... meaningful. Because we are human. 

And haven't you heard that human is so fucking stupid.

Rabu, 07 Juni 2017

Dan Senyumlah

"Menelusuri hening malam hari-harimu terlewatkan 
Kau hanya bicara berteman khayalan
Kau tak mendapat jawaban"



Suka sekali dengan bagian lirik lagu ini. Lagunya memang enak.


Jumat, 02 Juni 2017

Ada pernah suatu pagi yang dingin. Ketika tidak ada tempat berpulang bernama rumah. Saat keluarga hanya bisa dibentuk oleh fantasi. Dan sentuhan, cinta, wajah-wajah bertumpukan, tapi tidak akan pernah bisa merasa... karena tidak ada yang nyata.

Pagi itu bisa datang kembali. Cepat atau lambat. Apakah ikhlas bisa menyenangkan dirinya sendiri? Apakah pasrah sudah lebih dari cukup? Meminta sama dengan keinginan. Dan kadang mungkin tidak ada jawaban selain batas antara bangun atau jatuh bila sudah waktunya...


Selasa, 30 Mei 2017

Mimpi Malam Tadi

Mimpi malam tadi antara perpaduan sedikit erotisme, ketakutan yang dingin dan lebih banyak lagi tentang kenangan. 

Tapi saya tidak akan bahas erotismenya, hanya saja saya ingat keluar dari sebuah bangunan mall (atau pertokoan) larut malam lalu saya sadar saya tidak punya jemputan untuk pulang. Saya berpikir "Wah sudah telat sepertinya memesan Gojek" sementara mendadak sekitar saya menjadi sepi, hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir, tukang jualan, lelaki-lelaki di sekitar halaman parkir yang membuat saya cemas. Saya berpikir, ini kelamaan bila saya pesan Gojek sampainya. Lalu saya sempat bingung apakah masuk ke dalam mall lagi (berharap disana lebih ramai orang) ataukah berjalan keluar dari kompleks. Bayangan beberapa lelaki asing itu membuat saya merasa khawatir. Jadi saya putuskan berlari cepat keluar menuju jalanan raya. 

Saya mendengar seorang lelaki tertawa dan berkata sesuatu, tentang saya, tapi saya tidak tahu apa. Saya terus berlari cepat. Cepat sekali, rasanya saya sama seperti The Flash. Masih terdengar sedikit suara lelaki itu dan bayangan wajahnya begitu saya menengok ke belakang seakan ia berusaha mengikuti saya. Saya terus berlari... berlari dan akhirnya ketika ia tidak ada lagi, saya merasa lega. Saya sudah ada di keramaian. 

Tapi entah bagaimana, pikiran baru terlintas : Saya mau kemana? Pulang kemana? Lalu saya menjawab sendiri : Ya ampun, saya kan tidak punya rumah! Mendadak saya yakin tempat di dalam mimpi saya ini adalah Bandung. Atau mungkin juga Jakarta. Apapun itu tapi mimpi ini terjadi saat saya suka punya kebiasaan pindah-pindah kos. Dan mendadak, saya sampai di sebuah pagar besi rumah mungil. Agak mirip penampakannya dengan rumah kos pertama saya di Jatinangor dulu. Atau waktu saya di Jakarta pertama kali.

 Saya hanya melewatinya... saya tidak mau masuk. Pikiran saya : "lah itu kan bukan rumah saya lagi... Saya kan sudah tidak diterima lagi mana bisa masuk." Lalu saya berdiri di pinggir jalan, berpikir sebentar mau kemana. Masih teringat ada perasaan cemas, perasaan ketakutan dan lebih lagi suatu kesepian. Bahwa saya seorang diri dan saya tidak punya tujuan untuk pulang. Ingin tidur, ingin sembunyi. Saya merasa tidak aman. Sekilas, saya merasa ada dalam bahaya. 

Ide lain datang yaitu "ah kenapa tidak menginap di MCD saja.... atau restoran 24 jam" tapi saya tahu harus pesan Gojek dulu. Saya pun menyeberang menuju Indomaret (berharap masih buka untuk mengulur waktu sampai Gojek datang) tapi begitu membuka pintu, isinya malah kafe dengan jualan kopi dan roti. Begitu masuk, saya memesan agak banyak dan dilayani seorang perempuan muda berusia sekitar 17 atau 19 tahun yang sedang bekerja bersama ibunya. Saya tidak tahu dia siapa, tidak pernah juga merasa bertemu dia di dunia nyata. Lalu mimpi saya pun selesai. Diakhiri dengan perasaan lega karena kecemasan tentang tujuan pulang itu sudah berakhir walau masih terasa... seakan itu bukan mimpi. Melainkan revisiting satu momen yang agak saya kurang suka, tentang malam yang dingin, sendirian dan merasa putus asa. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.

*sekedar catatan

Jumat, 19 Mei 2017

Bahagia

Bagaimana kalau kebahagiaan hanya untuk mereka yang tidak tahu banyak dan juga untuk mereka yang mau berpura-pura bahwa inilah bahagiaku, walau sebenarnya bahagia itu tidak bertahan dan akan habis juga. 

Berarti untuk bisa bahagia kamu harus memilih antara mau jadi orang bodoh atau jadi aktor. Selain itu, agak susah untuk bahagia.

Minggu, 02 April 2017

Pengaruh Sebuah Ruang

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTuf1UwvXUFyoFboNg1HDVmfKt9tb5ak5EruBzWwAt9z-7JRnKyodRe3VE2rrTryOePztghBj5YcMK32xL9e-iBO9seXyKqieeDHgzOv_rLWWpgkSxQIH4iFdngZLSBiQTZd97po5MA9NJ/s1600/shot0001.png
Double Portrait of Lucian Freud and Frank Auerbach and
Study for a Portrait of Isabel Rawsthorne by Francis Bacon

Dalam Last Tango In Paris, seorang gadis muda bertemu seorang pria yang jauh lebih tua di sebuah ruang apartemen yang gelap dan kusam, mereka tidak jatuh cinta tapi hanya saling terpana. Ada sesuatu di dalam ruangan itu yang membuat mereka merasa intim dan kemudian terjalinlah sebuah hubungan rahasia yang terlihat ganjil tapi sebenarnya gambaran dari pelarian mereka berdua atas ketidakpuasaan hidup masing-masing. 

Ruang apartemen di dalam film tersebut tak ubahnya ruang tersembunyi yang biasa kita hidupi dalam keseharian. Dalam dunia internet, misalnya. Kita bisa menemukan diri kita menjadi terasa sangat dekat berinterasi dengan seseorang di Twitter atau di Instagram, tapi kemudian ketika interaksi tersebut berpindah ke ruang yang lain, ambil contoh saat kopi darat atau saat bertukar pesan di Whatsapp, kenyamanan perasaan itu berganti. Chemistry mendadak runtuh. Terasa ada yang berbeda. Entah apa yang salah tapi mungkin begitulah pengaruh sebuah ruang. Itulah kenapa di ujung film saat sang gadis berpapasan dengan si pria di dunia nyata di luar ruang apartemen, ia digambarkan merasa asing dan bahkan menjauhinya. Pria yang biasa jadi teman bercintanya di apartemen mendadak di matanya terlihat sebagai pria menakutkan yang tak karuan.

Saya teringat seorang teman lama yang menemukan saya kembali lewat Instagram. Kami bertukar pesan panjang disana lalu kemudian suatu waktu saya memintanya untuk melanjutkan interaksi di Whatsapp. Dia agak malas namun akhirnya setuju. Saat memulai chat, terasa ada yang aneh karena mendadak saya (atau kami) menjadi canggung. Terasa sekali bahwa kami mencari-cari bahan obrolan. Entah apa yang berbeda sebenarnya dari berinteraksi di Instagram dan Whatsapp tapi saya yakin itu adalah contoh baik tentang pengaruh sebuah ruang. Kami cocok dalam "ruang Instagram" dan kemudian merasa ganjil ada di "ruang lain" di Whatsapp. Tentu saya yakin ada banyak cerita-cerita lainnya. 

Rabu, 29 Maret 2017

Life Is Meaningless

Suatu hari, Muhajiddin dengan penuh semangat mengetik tulisan di blognya. Jarinya dengan lincah terus menulis dan menulis, beberapa menit berlalu sampai satu jam, dua jam, dan dia masih seru dengan tulisannya. Kadang-kadang jarinya berhenti. Otaknya berpikir untuk meramu kata terbaik. Tapi kemudian ia kembali menulis, kembali mengetik. Beberapa jam berlalu dan walau ia masih tidak yakin itu adalah tulisan paling bagus yang ia buat, tapi ia akhirnya menyelesaikannya.

Lalu ia menekan tombol Publikasikan.

Eh, bukannya terpublikasikan malah muncul kolom merah kecil "laman anda tidak bisa disimpan".

Ia terus kekeuh, ia menekan tombol Simpan lalu Publikasikan tapi tetap saja kolom merah itu terus muncul. Setengah jam begitu terus. Kesal dan tidak berpikir panjang, ia ignore kolom merah itu dan menekan tombol Tutup di blog. Dia pikir, ah tulisan saya mungkin sudah published.

Tapi ternyata setelah membuka pos lagi, tulisannya masih kosong. Tidak ada yang tersimpan. Matanya terbuka lebar melihat semua hasil tulisannya selama berjam-jam lebih terhapus seakan tidak ada artinya. Semua jerih payahnya. Bayangan jari-jarinya yang menari lincah di papan ketik. Jungkir balik pemikiran dan idenya. Semua hilang begitu saja.



Sama dengan kasus Muhajiddin tersebut, begitu pula sebenarnya dengan hidup yang kita jalani ini. Kita bersusah payah, kita banting tulang kesana kemari, tapi kesalahan sepele bisa menghapus semua. Bukankah itu tragis? Sadis? Memang. Kita bisa berlari begitu cepat hanya untuk menemukan bahwa kita salah arah. Kita bisa menunggu berpuluh tahun hanya untuk berdiri di pintu yang ternyata tidak bisa dibuka. Life is meaningless, bersiaplah untuk dihancurkan bila terlalu menganggapnya berarti.


*pengalaman pribadi yang sering terjadi