Ada pernah suatu pagi yang dingin. Ketika tidak ada tempat berpulang bernama rumah. Saat keluarga hanya bisa dibentuk oleh fantasi. Dan sentuhan, cinta, wajah-wajah bertumpukan, tapi tidak akan pernah bisa merasa... karena tidak ada yang nyata.
Pagi itu bisa datang kembali. Cepat atau lambat. Apakah ikhlas bisa menyenangkan dirinya sendiri? Apakah pasrah sudah lebih dari cukup? Meminta sama dengan keinginan. Dan kadang mungkin tidak ada jawaban selain batas antara bangun atau jatuh bila sudah waktunya...
Jumat, 02 Juni 2017
Selasa, 30 Mei 2017
Mimpi Malam Tadi
Mimpi malam tadi antara perpaduan sedikit erotisme, ketakutan yang dingin dan lebih banyak lagi tentang kenangan.
Tapi saya tidak akan bahas erotismenya, hanya saja saya ingat keluar dari sebuah bangunan mall (atau pertokoan) larut malam lalu saya sadar saya tidak punya jemputan untuk pulang. Saya berpikir "Wah sudah telat sepertinya memesan Gojek" sementara mendadak sekitar saya menjadi sepi, hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir, tukang jualan, lelaki-lelaki di sekitar halaman parkir yang membuat saya cemas. Saya berpikir, ini kelamaan bila saya pesan Gojek sampainya. Lalu saya sempat bingung apakah masuk ke dalam mall lagi (berharap disana lebih ramai orang) ataukah berjalan keluar dari kompleks. Bayangan beberapa lelaki asing itu membuat saya merasa khawatir. Jadi saya putuskan berlari cepat keluar menuju jalanan raya.
Saya mendengar seorang lelaki tertawa dan berkata sesuatu, tentang saya, tapi saya tidak tahu apa. Saya terus berlari cepat. Cepat sekali, rasanya saya sama seperti The Flash. Masih terdengar sedikit suara lelaki itu dan bayangan wajahnya begitu saya menengok ke belakang seakan ia berusaha mengikuti saya. Saya terus berlari... berlari dan akhirnya ketika ia tidak ada lagi, saya merasa lega. Saya sudah ada di keramaian.
Tapi entah bagaimana, pikiran baru terlintas : Saya mau kemana? Pulang kemana? Lalu saya menjawab sendiri : Ya ampun, saya kan tidak punya rumah! Mendadak saya yakin tempat di dalam mimpi saya ini adalah Bandung. Atau mungkin juga Jakarta. Apapun itu tapi mimpi ini terjadi saat saya suka punya kebiasaan pindah-pindah kos. Dan mendadak, saya sampai di sebuah pagar besi rumah mungil. Agak mirip penampakannya dengan rumah kos pertama saya di Jatinangor dulu. Atau waktu saya di Jakarta pertama kali.
Saya hanya melewatinya... saya tidak mau masuk. Pikiran saya : "lah itu kan bukan rumah saya lagi... Saya kan sudah tidak diterima lagi mana bisa masuk." Lalu saya berdiri di pinggir jalan, berpikir sebentar mau kemana. Masih teringat ada perasaan cemas, perasaan ketakutan dan lebih lagi suatu kesepian. Bahwa saya seorang diri dan saya tidak punya tujuan untuk pulang. Ingin tidur, ingin sembunyi. Saya merasa tidak aman. Sekilas, saya merasa ada dalam bahaya.
Ide lain datang yaitu "ah kenapa tidak menginap di MCD saja.... atau restoran 24 jam" tapi saya tahu harus pesan Gojek dulu. Saya pun menyeberang menuju Indomaret (berharap masih buka untuk mengulur waktu sampai Gojek datang) tapi begitu membuka pintu, isinya malah kafe dengan jualan kopi dan roti. Begitu masuk, saya memesan agak banyak dan dilayani seorang perempuan muda berusia sekitar 17 atau 19 tahun yang sedang bekerja bersama ibunya. Saya tidak tahu dia siapa, tidak pernah juga merasa bertemu dia di dunia nyata. Lalu mimpi saya pun selesai. Diakhiri dengan perasaan lega karena kecemasan tentang tujuan pulang itu sudah berakhir walau masih terasa... seakan itu bukan mimpi. Melainkan revisiting satu momen yang agak saya kurang suka, tentang malam yang dingin, sendirian dan merasa putus asa. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.
*sekedar catatan
Jumat, 19 Mei 2017
Bahagia
Bagaimana kalau kebahagiaan hanya untuk mereka yang tidak tahu banyak dan juga untuk mereka yang mau berpura-pura bahwa inilah bahagiaku, walau sebenarnya bahagia itu tidak bertahan dan akan habis juga.
Berarti untuk bisa bahagia kamu harus memilih antara mau jadi orang bodoh atau jadi aktor. Selain itu, agak susah untuk bahagia.
Berarti untuk bisa bahagia kamu harus memilih antara mau jadi orang bodoh atau jadi aktor. Selain itu, agak susah untuk bahagia.
Minggu, 02 April 2017
Pengaruh Sebuah Ruang
![]() |
Double Portrait of Lucian Freud and Frank Auerbach and Study for a Portrait of Isabel Rawsthorne by Francis Bacon |
Dalam Last Tango In Paris, seorang gadis muda bertemu seorang pria yang jauh lebih tua di sebuah ruang apartemen yang gelap dan kusam, mereka tidak jatuh cinta tapi hanya saling terpana. Ada sesuatu di dalam ruangan itu yang membuat mereka merasa intim dan kemudian terjalinlah sebuah hubungan rahasia yang terlihat ganjil tapi sebenarnya gambaran dari pelarian mereka berdua atas ketidakpuasaan hidup masing-masing.
Ruang apartemen di dalam film tersebut tak ubahnya ruang tersembunyi yang biasa kita hidupi dalam keseharian. Dalam dunia internet, misalnya. Kita bisa menemukan diri kita menjadi terasa sangat dekat berinterasi dengan seseorang di Twitter atau di Instagram, tapi kemudian ketika interaksi tersebut berpindah ke ruang yang lain, ambil contoh saat kopi darat atau saat bertukar pesan di Whatsapp, kenyamanan perasaan itu berganti. Chemistry mendadak runtuh. Terasa ada yang berbeda. Entah apa yang salah tapi mungkin begitulah pengaruh sebuah ruang. Itulah kenapa di ujung film saat sang gadis berpapasan dengan si pria di dunia nyata di luar ruang apartemen, ia digambarkan merasa asing dan bahkan menjauhinya. Pria yang biasa jadi teman bercintanya di apartemen mendadak di matanya terlihat sebagai pria menakutkan yang tak karuan.
Saya teringat seorang teman lama yang menemukan saya kembali lewat Instagram. Kami bertukar pesan panjang disana lalu kemudian suatu waktu saya memintanya untuk melanjutkan interaksi di Whatsapp. Dia agak malas namun akhirnya setuju. Saat memulai chat, terasa ada yang aneh karena mendadak saya (atau kami) menjadi canggung. Terasa sekali bahwa kami mencari-cari bahan obrolan. Entah apa yang berbeda sebenarnya dari berinteraksi di Instagram dan Whatsapp tapi saya yakin itu adalah contoh baik tentang pengaruh sebuah ruang. Kami cocok dalam "ruang Instagram" dan kemudian merasa ganjil ada di "ruang lain" di Whatsapp. Tentu saya yakin ada banyak cerita-cerita lainnya.
Label:
sepintas tentang film
Rabu, 29 Maret 2017
Life Is Meaningless
Suatu hari, Muhajiddin dengan penuh semangat mengetik tulisan di blognya. Jarinya dengan lincah terus menulis dan menulis, beberapa menit berlalu sampai satu jam, dua jam, dan dia masih seru dengan tulisannya. Kadang-kadang jarinya berhenti. Otaknya berpikir untuk meramu kata terbaik. Tapi kemudian ia kembali menulis, kembali mengetik. Beberapa jam berlalu dan walau ia masih tidak yakin itu adalah tulisan paling bagus yang ia buat, tapi ia akhirnya menyelesaikannya.
Lalu ia menekan tombol Publikasikan.
Eh, bukannya terpublikasikan malah muncul kolom merah kecil "laman anda tidak bisa disimpan".
Ia terus kekeuh, ia menekan tombol Simpan lalu Publikasikan tapi tetap saja kolom merah itu terus muncul. Setengah jam begitu terus. Kesal dan tidak berpikir panjang, ia ignore kolom merah itu dan menekan tombol Tutup di blog. Dia pikir, ah tulisan saya mungkin sudah published.
Tapi ternyata setelah membuka pos lagi, tulisannya masih kosong. Tidak ada yang tersimpan. Matanya terbuka lebar melihat semua hasil tulisannya selama berjam-jam lebih terhapus seakan tidak ada artinya. Semua jerih payahnya. Bayangan jari-jarinya yang menari lincah di papan ketik. Jungkir balik pemikiran dan idenya. Semua hilang begitu saja.
Sama dengan kasus Muhajiddin tersebut, begitu pula sebenarnya dengan hidup yang kita jalani ini. Kita bersusah payah, kita banting tulang kesana kemari, tapi kesalahan sepele bisa menghapus semua. Bukankah itu tragis? Sadis? Memang. Kita bisa berlari begitu cepat hanya untuk menemukan bahwa kita salah arah. Kita bisa menunggu berpuluh tahun hanya untuk berdiri di pintu yang ternyata tidak bisa dibuka. Life is meaningless, bersiaplah untuk dihancurkan bila terlalu menganggapnya berarti.
*pengalaman pribadi yang sering terjadi
Lalu ia menekan tombol Publikasikan.
Eh, bukannya terpublikasikan malah muncul kolom merah kecil "laman anda tidak bisa disimpan".
Ia terus kekeuh, ia menekan tombol Simpan lalu Publikasikan tapi tetap saja kolom merah itu terus muncul. Setengah jam begitu terus. Kesal dan tidak berpikir panjang, ia ignore kolom merah itu dan menekan tombol Tutup di blog. Dia pikir, ah tulisan saya mungkin sudah published.
Tapi ternyata setelah membuka pos lagi, tulisannya masih kosong. Tidak ada yang tersimpan. Matanya terbuka lebar melihat semua hasil tulisannya selama berjam-jam lebih terhapus seakan tidak ada artinya. Semua jerih payahnya. Bayangan jari-jarinya yang menari lincah di papan ketik. Jungkir balik pemikiran dan idenya. Semua hilang begitu saja.
Sama dengan kasus Muhajiddin tersebut, begitu pula sebenarnya dengan hidup yang kita jalani ini. Kita bersusah payah, kita banting tulang kesana kemari, tapi kesalahan sepele bisa menghapus semua. Bukankah itu tragis? Sadis? Memang. Kita bisa berlari begitu cepat hanya untuk menemukan bahwa kita salah arah. Kita bisa menunggu berpuluh tahun hanya untuk berdiri di pintu yang ternyata tidak bisa dibuka. Life is meaningless, bersiaplah untuk dihancurkan bila terlalu menganggapnya berarti.
*pengalaman pribadi yang sering terjadi
Sabtu, 06 Februari 2016
Aku teringat ketika di kelas 2 (atau 3? Atau 4?) aku membaca sebuah buku di perpustakaan. Ceritanya tentang seorang cucu yang ingin mengunjungi neneknya. Momen kecil itu sekarang ini mendadak rasanya aku ingat betul. Rasa-rasanya hidup waktu itu tak menyenangkan di sekolah tapi setidaknya di rumah aku dikasih makan dan dianggap anak kecil jadi aku senang leluasa. Cuma kalau kupikir lagi, hidup itu memang soal ingatan ya? Ingatan yang pada akhirnya tidak begitu awet juga untuk diingat. Kita semua bisa salah mengingat; yang indah belum tentu betulan indah, yang buruk belum tentu terlampau buruk tapi begitulah kerja ingatan. Memberi kekacauan, mengacak-acak perasaan. Kadang aku berpikir aku seseorang yang terlalu sentimentil tentang ingatan, tentang nostalgia, tentang segala macam soal masa lampau... apa ini akan jadi hal baik? Aku terlampau cemas, gelisah! Karena tak punya teman lalu pelarianku ke tulisan. Karena tak punya tujuan, aku mengingat kenangan. Apainiapainiapaininulisapa? Efek habis nonton film bergaya acak tak beraturannya Garin jadi ikut-ikutan. Sudahlah. Tidur saja mari mari.
Kamis, 10 September 2015
A Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte
![]() |
Seurat's A Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte
Sama sekali tidak mengenal lukisan ini, apa deskripsinya, apa yang ingin disampaikan pembuatnya, tapi karena menonton Ferris Bueller's Day Off jadi suka sekali dengan lukisannya. Jadi ada adegan di film dimana teman Ferris sedang mengamati gadis kecil berbaju putih di lukisan itu. Ini adegan bagus sekali karena selain diiringi musiknya The Smiths yang Please, Please Let Me Get What I Want juga menggambarkan perbedaan pandangan Ferris dan temannya. Ferris yang outgoing dan santai memaknai hidup sedang ciuman dengan pacarnya sementara temannya termenung menatap lukisan Seurat ini. Gambar gadis kecil itu terus di zoom-in beberapa kali sampai kita cuma melihat titik-titik warna yang semakin tidak jelas. Bisa multi interpretasi, adegan itu menggambarkan masa kecil yang ditinggalkan, kerinduan akan kasih sayang dan keluarga, pencarian diri, kesepian dan kekosongan, bagaimana teman Ferris tidak melihat apa ekspresi gadis berbaju putih itu, apa dia bahagia atau tidak. Persis bagaimana ia juga tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya.
Keren ya.
Keren ya.
Langganan:
Postingan (Atom)