Sabtu, 27 Januari 2018
Ketika sadar bahwa wajah-wajah ini pada akhirnya akan kembali hilang dan dia kembali sendiri, maka kesedihan lebih cepat datang sebagai sebuah pengingat.
Sabtu, 20 Januari 2018
Bekerja dan Tujuan
"Sebenarnya kita bekerja buat apa sih?"
Suatu percakapan di tengah jam istirahat kantor. Saya sendiri mempertanyakan hal yang sama. Apa kita bekerja untuk uang? Yang nanti pada akhirnya juga akan kita habiskan? Apakah kita bekerja untuk gairah, untuk sesuatu yang kita cintai sehingga tidak perlu lagi kita namakan "bekerja"? Itu kan sebenarnya jawaban yang paling menenangkan?
Kita bertahun-tahun sekolah untuk sebuah harapan yang sering dibicarakan oleh guru dan orangtua dulu tentang bekerja di kantor, mendapat gaji besar, berkeluarga dan punya anak. Harapan ini berubah menjadi mimpi dan seringkali adalah keharusan yang menentukan kebahagiaan. Setelah kemudian jadi dewasa, diam-diam kita bertanya dalam hati di tengah hari sibuk dengan badan lelah untuk banting tulang, apakah cuma ini? Apakah kalaupun kita mendapat pekerjaan yang kita cintai dan semua sudah lengkap, kita akan merasa cukup? Karena kita sadar manusia tidak akan pernah merasa puas.
"Sebenarnya kita bekerja buat apa sih?"
Saya gelisah dengan pertanyaan ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain. Bahkan ketika masih memulai, saya cemas dengan apakah nanti saya akan kehilangan tujuan.
Suatu percakapan di tengah jam istirahat kantor. Saya sendiri mempertanyakan hal yang sama. Apa kita bekerja untuk uang? Yang nanti pada akhirnya juga akan kita habiskan? Apakah kita bekerja untuk gairah, untuk sesuatu yang kita cintai sehingga tidak perlu lagi kita namakan "bekerja"? Itu kan sebenarnya jawaban yang paling menenangkan?
Kita bertahun-tahun sekolah untuk sebuah harapan yang sering dibicarakan oleh guru dan orangtua dulu tentang bekerja di kantor, mendapat gaji besar, berkeluarga dan punya anak. Harapan ini berubah menjadi mimpi dan seringkali adalah keharusan yang menentukan kebahagiaan. Setelah kemudian jadi dewasa, diam-diam kita bertanya dalam hati di tengah hari sibuk dengan badan lelah untuk banting tulang, apakah cuma ini? Apakah kalaupun kita mendapat pekerjaan yang kita cintai dan semua sudah lengkap, kita akan merasa cukup? Karena kita sadar manusia tidak akan pernah merasa puas.
"Sebenarnya kita bekerja buat apa sih?"
Saya gelisah dengan pertanyaan ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain. Bahkan ketika masih memulai, saya cemas dengan apakah nanti saya akan kehilangan tujuan.
Senin, 15 Januari 2018
Hari Ini
“I feel that life is divided into the horrible and the miserable. That's the two categories. The horrible are like, I don't know, terminal cases, you know, and blind people, crippled. I don't know how they get through life. It's amazing to me. And the miserable is everyone else. So you should be thankful that you're miserable, because that's very lucky, to be miserable.”
Maka kehidupan membosankan yang cuma begini-begini saja kadang jadi kemewahan yang bila mendadak hilang akan disesali. Bagaimana hal yang terasa begitu tidak berarti dan sia-sia menjadi berarti. Bagaimana kesepian dan kemalangan dapat kita syukuri ketimbang tertimpa bencana yang lebih buruk lagi. Hari ini adalah buktinya. Saya merindukan kebosanan yang saya benci beberapa hari lalu karena sekarang saya merasakan tahap yang lebih buruk dari kebosanan.
Sabtu, 23 Desember 2017
Ikhlas
Ikhlas itu susah sekali. Padahal manusia itu sejatinya tercipta memiliki ego. Maka ikhlas yaitu seni untuk bersyukur dan merelakan adalah hal yang tidak bisa sekali dua kali dicoba langsung bisa tapi mesti terus diterapkan. Dan manusia yang selalu berusaha mempertahankan ego ini akan merasa tersiksa selama pembelajarannya.
Duh, sebenarnya bisakah kita untuk ikhlas? Untuk tidak menengadahkan kepala terlalu tinggi? Tidak melihat halaman rumput orang lain? Untuk tidak mengagungkan kebahagiaan mereka dan mengerdilkan hidup kita sendiri? Bisakah kita bilang bahwa kita ikhlas dan terus bisa berjalan, walau kita tahu kita terluka seorang diri. Menurut saya kita terluka bukan karena orang lain bahagia. Tapi kita terluka karena kita berpikir orang lain lebih bahagia.
Itulah ego yang harus diikhlaskan.
Duh, sebenarnya bisakah kita untuk ikhlas? Untuk tidak menengadahkan kepala terlalu tinggi? Tidak melihat halaman rumput orang lain? Untuk tidak mengagungkan kebahagiaan mereka dan mengerdilkan hidup kita sendiri? Bisakah kita bilang bahwa kita ikhlas dan terus bisa berjalan, walau kita tahu kita terluka seorang diri. Menurut saya kita terluka bukan karena orang lain bahagia. Tapi kita terluka karena kita berpikir orang lain lebih bahagia.
Itulah ego yang harus diikhlaskan.
Kamis, 14 Desember 2017
Kesialanku hari ini,
Keberuntunganku...
Sementara kenangan bolak-balik hadir
Kemana ingin akan membawaku?
Sedari awal aku tidak pernah tahu.
Keberuntunganku...
Sementara kenangan bolak-balik hadir
Kemana ingin akan membawaku?
Sedari awal aku tidak pernah tahu.
Minggu, 03 Desember 2017
Sampai Jumpa Lagi, D!
Hai, D.
Mungkin hanya beberapa minggu. Atau bisa jadi hanya sampai sebulan. Sungguh lucu atau malah menyedihkan ya bagaimana manusia bisa bertemu lalu dengan mudahnya berpisah lagi. Saya pikir ini akan menjadi sesuatu. Saya pikir akan ada kesempatan, kamu akan menjadi seseorang yang berbeda yang bukan hanya sama dengan puluhan lelaki lainnya yang saya sukai lalu saya hapus lagi dari ingatan.
Yang saya tahu kamu pintar. Kamu cekatan. Kamu penuh dengan antusias dan mimpi-mimpi dan kamu loyal terhadap semua orang. Kamu ingin mendengarkan cerita orang, bukan hanya sibuk berceloteh tentang diri sendiri. Saya ingat impian kamu itu, yang kamu ceritakan dengan sepenuh hati. Suatu malam kita bicara tentang betapa menyebalkannya dunia ketika sudah lulus sekolah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan... saya yang diam-diam mengomel tentang betapa membosankannya kerja kantoran dan kamu yang bilang bahwa kamu tidak akan pernah mau bekerja seumur hidup hanya di belakang meja tanpa melakukan apa-apa.
Malam itu saya rasa akan menjadi awal sesuatu. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya akhirnya jatuh cinta lagi dan saya berharap. Saya berharap setelah ini kamu akan datang lagi dan lagi dengan ceritamu. Saya ingin kamu menjadi yang berbeda, saya ingin kamu jadi orang yang menerima cerita saya dan menganggap itu mengagumkan bukannya menghakimi.
Hari-hari setelahnya, saya semakin mampu membaca kamu. Bahwa saya membayangkan keluarga seperti apa yang membesarkan kamu, pasti seorang ayah yang baik dan pengertian, dimana setiap makan malam adalah diskusi yang terbuka antara kamu dan semua saudara-saudaramu. Mereka tidak akan kolot dan mereka mendukung semua kebebasan yang kamu pilih.
Perlahan saya iri.
Saya seperti alien yang mendambakan manusia yang sempurna.
Jadi sekarang kamu pergi dan kita berpisah mungkin untuk selamanya. Pertemuan terakhir kita rasanya hanya beberapa menit dan harapan itu dengan mudahnya lagi pergi. Wajah kamu kembali jadi lintasan ingatan yang mungkin akan terendapkan jauh, sama seperti wajah-wajah lain yang tidak pernah bertahan lama.
Tapi mau bagaimana lagi. Memang hidup seperti ini. Dan kadang-kadang saya rasa, memang saya tidak sebaik itu untuk bisa bersama kamu.
Jadi sampai jumpa lagi, D. Terima kasih untuk waktu yang sebentar bisa menitipkan rasa sayang ke kamu. :)
Label:
Tentang seseorang
Jumat, 01 Desember 2017
Canon In D Dalam Bad Timing
Beberapa bulan lalu saya menonton film ini. Tapi berhenti di pertengahan karena mengantuk. Cuma ada satu adegan yang saya susah lupa dan entah kenapa saat sedih, yang terbayang adegan ini dengan iringan Canon In D-nya. Padahal saya juga belum tahu ceritanya tapi kesannya adegan perpisahan ini menyedihkan dan memakai Canon In D - nya Pachelbel membuat adegan ini terasa semakin indah.
....Salah satu alasan lain kenapa saya gemas Riz Ortolani bikin musik Cannibal Holocaust buat film eksploitasi yang jadi sangat tidak nyambung, bukannya buat mengiringi adegan perpisahan seperti ini.
Label:
sepintas tentang film
Langganan:
Postingan (Atom)